Selamat Hari Santri 2019!, Inilah Sejarah & Asal Usul Kata Santri
Assalammu‘alaikum warramatullahi wabarakatuh.
Halo guys ! Tahukah kamu bahwa hari ini hari apa ? Hari ini adalah Hari Santri Nasional yang bertepatan dengan Hari Selasa Tanggal 22 Oktober 2019 / 23 Syafar 1441 H.
Tanggal 22 Oktober sekarang diperingati sebagai Hari Santri Nasional sesuai yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak Tahun 2015 silam. Mengenai sejarah dan asal-usul kata "Santri" ternyata ada beberapa versi. Salah satunya meyakini istilah itu berasal dari Bahasa Sanskerta atau Bahasa Arab?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Santri” setidaknya mengandung 2 (Dua) Makna. Arti Pertama adalah orang yang mendalami Agama Islam, dan Arti Kedua adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh.
Santri selama ini digunakan untuk menyebut kaum atau orang-orang yang sedang atau pernah memperdalam ajaran agama Islam di pondok pesantren. Kata “Pesantren” oleh sebagian kalangan diyakini sebagai asal-usul tercetusnya istilah “Santri."
Kendati begitu, ada cukup banyak pendapat yang memaparkan kemungkinan sejarah atau asal usul kata “Santri”. Bahkan, tidak sedikit ahli yang meyakini bahwa tradisi nyantri sudah ada sejak sebelum Ajaran Islam masuk ke Nusantara, atau dengan kata lain pada masa Hindu dan Buddha.
Asal Usul Kata "Santri"
Salah satu versi mengenai asal usul istilah “Santri”, seperti dikutip dari Buku Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan (2001) karya M. Habib Mustopo, mengatakan kata “Santri” berasal dari Bahasa Sanskerta.
Istilah “Santri”, menurut pendapat itu, diambil dari salah satu kata dalam Bahasa Sanskerta, yaitu sastri yang artinya "Melek Huruf" atau "Bisa Membaca". Versi ini terhubung dengan pendapat C.C. Berg yang menyebut istilah “Santri” berasal dari kata "Shastri" yang dalam Bahasa Hindi berarti "Orang yang mempelajari Kitab-kitab Suci Agama Hindu".
Sanskerta merupakan Bahasa Liturgis dalam Agama Hindu, Buddha, dan ajaran Jainisme, serta salah satu dari 23 Bahasa Resmi di India. Sanskerta pernah digunakan di Nusantara pada masa Hindu dan Buddha yang berlangsung sejak Abad ke-2 Masehi hingga menjelang Abad ke-16 seiring runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Karel A. Steenbrink, seperti dikutip oleh Zamakhsyari Dhofir dalam Buku Tradisi Pesantren (1985), mendukung Rumusan Berg dan meyakini bahwa Pendidikan Pesantren, yang kemudian lekat dengan tradisi Edukasi Islam di Jawa, memang mirip dengan pendidikan ala Hindu di India jika dilihat dari segi bentuk dan sistemnya.
Nurcholis Madjid lewat Buku Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1999) menautkan pendapat tersebut dengan menuliskan bahwa kata “Santri” bisa pula berasal dari Bahasa Jawa, yakni Cantrik yang bermakna "Orang atau murid yang selalu mengikuti Gurunya".
Ada pula yang mengaitkan asal usul istilah “Santri” dengan kata-kata dalam Bahasa Inggris, yaitu Sun (Matahari) dan Three (Tiga), menjadi Tiga Matahari.
Dinukil dari Tulisan Aris Adi Leksono bertajuk “Revitalisasi Karakter Santri di Era Milenial” dalam NU Online, maksud Tiga Matahari itu adalah 3 (Tiga) Keharusan yang harus dimiliki oleh seorang Santri, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.
Istilah “Santri” bisa pula dimaknai dengan arti “Jagalah Tiga Hal”, sebagaimana yang tertulis di Buku Sejarah Pergerakan Nasional (2015) karya Fajriudin Muttaqin dan kawan-kawan, yaitu menjaga "Ketaatan kepada Allah, menjaga ketaatan kepada Rasul-Nya, dan menjaga hubungan dengan para pemimpin".
Dari Bahasa Arab, asal usul istilah “Santri” juga bisa ditelaah. Kata “Santri” terdiri dari empat huruf Arab, yakni sin (Řł), nun (Ů), ta’ (ŘŞ), dan ro’ (Řą) yang masing-masing mengandung makna tersendiri dan hendaknya tercermin dalam sikap seorang santri, demikian dikutip dari Buku Kiai Juga Manusia: Mengurai Plus Minus Pesantren (2009).
Menurut ulama dari Pandeglang, Banten, K.H. Abdullah Dimyathy, huruf sin (Řł) merujuk pada Satrul al-Awroh (ستعŮ٠اŮŘŚŮع؊) atau "Menutup Aurat"; huruf nun (Ů) berasal dari istilah Na’ibul ’Ulama (ŮؚبŮŮ ŘšŮا٠ا) yang berarti "Wakil dari Ulama"; huruf ta’ (ŘŞ) dari Tarkul al-Ma’ashi (ŘŞŘąŮŮ٠اŮ٠ؚؾŮ) atau "Meninggalkan Kemaksiatan"; serta huruf ro’ (Řą) dari Ra’isul ummah (عؚسŮŮ ŘĄŮ ŘŠ) alias "Pemimpin Umat".
Sedangkan dalam pandangan K.H. M.A. Sahal Mahfudz, Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2014, kata “Santri” berasal dari Bahasa Arab yakni santaro yang berarti “Menutup”. Santri adalah Orang yang Belajar, bukan justru Menutup. Maka, dikutip dari Jurnal Ulul Albab (2014) seorang Santri mustahil Santaro.
Ragam Permaknaan Santri
K.H. Ma’ruf Amin saat menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU menegaskan, sebutan Santri bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang berada di Pondok Pesantren dan bisa Mengaji Kitab. Namun, Santri adalah orang-orang yang meneladani para Kiai.
“Santri adalah orang-orang yang ikut Kiai, apakah dia belajar di Pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan Kiai, manut [patuh] kepada Kiai. Itu dianggap sebagai Santri walaupun dia tidak bisa Baca Kitab, tapi dia mengikuti perjuangan Para Santri,” papar Ma’ruf Amin dilansir NU Online.
“Pokoknya, Santri itu ikut Kiai, karena itu dia mencakup hampir semua lapisan masyarakat,” imbuh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI) non-aktif yang telah dilantik sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Presiden Jokowi hingga 2024 ini.
Interpretasi makna Santri yang hampir serupa juga dipaparkan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj. Menurut dia, santri adalah umat yang menerima Ajaran-ajaran Islam dari para kiai. Para kiai itu Belajar Islam dari Guru-gurunya yang terhubung sampai Nabi Muhammad.
Said Aqil Siroj menambahkan, Santri menerima Islam dan menyebarkannya dengan pendekatan budaya yang ber-Akhlakul Karimah, Bergaul dengan sesama dengan baik. Santri juga menghormati budaya, bahkan menjadikannya sebagai Infrastruktur Agama, kecuali Budaya yang bertentangan Ajaran Islam.
“Santri itu jelas, adalah orang-orang yang menindaklanjuti Dakwah dengan Budaya seperti yang dilakukan Walisongo. Dakwah seperti itu yang jelas ampuh, efektif,” tandas Said Agil Siroj.
Sedangkan menurut Menteri Agama RI 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin, santri juga memuat makna sebagai duta perdamaian. “Santri adalah pribadi yang mendalami agama Islam yang berasal dari akar kata salam yang artinya kedamaian. Itulah inti jiwa santri,” ujarnya, dikutip dari JPNN.
Tugas Santri, lanjut Lukman, adalah menebarkan kedamaian kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Ia juga mengungkapkan salah satu ciri dari seorang Santri, yakni memiliki kecintaan yang luar biasa kepada Tanah Air karena mencintai Tanah Air adalah sebagian dari Iman.
“Mengamalkan kewajiban sebagai Warga Negara, hakikatnya mengamalkan ajaran Agama kita,” tegas Lukman Hakim.
(Sumber Artikel : Tirto.id)
Untuk melihat artikel dari postingan terdahulu, silahkan lihat di sini.
Cukup sampai sini saja, semoga para Santri dan Ulama di Indonesia ini lebih baik dan lebih banyak beribadah kepada Allah SWT.
Waltafik hidaiyah,
Wassalammu‘alaikum warramatullahi wabarakatuh.
Halo guys ! Tahukah kamu bahwa hari ini hari apa ? Hari ini adalah Hari Santri Nasional yang bertepatan dengan Hari Selasa Tanggal 22 Oktober 2019 / 23 Syafar 1441 H.
Tanggal 22 Oktober sekarang diperingati sebagai Hari Santri Nasional sesuai yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak Tahun 2015 silam. Mengenai sejarah dan asal-usul kata "Santri" ternyata ada beberapa versi. Salah satunya meyakini istilah itu berasal dari Bahasa Sanskerta atau Bahasa Arab?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “Santri” setidaknya mengandung 2 (Dua) Makna. Arti Pertama adalah orang yang mendalami Agama Islam, dan Arti Kedua adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh.
Santri selama ini digunakan untuk menyebut kaum atau orang-orang yang sedang atau pernah memperdalam ajaran agama Islam di pondok pesantren. Kata “Pesantren” oleh sebagian kalangan diyakini sebagai asal-usul tercetusnya istilah “Santri."
Kendati begitu, ada cukup banyak pendapat yang memaparkan kemungkinan sejarah atau asal usul kata “Santri”. Bahkan, tidak sedikit ahli yang meyakini bahwa tradisi nyantri sudah ada sejak sebelum Ajaran Islam masuk ke Nusantara, atau dengan kata lain pada masa Hindu dan Buddha.
Salah satu versi mengenai asal usul istilah “Santri”, seperti dikutip dari Buku Kebudayaan Islam di Jawa Timur: Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralihan (2001) karya M. Habib Mustopo, mengatakan kata “Santri” berasal dari Bahasa Sanskerta.
Istilah “Santri”, menurut pendapat itu, diambil dari salah satu kata dalam Bahasa Sanskerta, yaitu sastri yang artinya "Melek Huruf" atau "Bisa Membaca". Versi ini terhubung dengan pendapat C.C. Berg yang menyebut istilah “Santri” berasal dari kata "Shastri" yang dalam Bahasa Hindi berarti "Orang yang mempelajari Kitab-kitab Suci Agama Hindu".
Sanskerta merupakan Bahasa Liturgis dalam Agama Hindu, Buddha, dan ajaran Jainisme, serta salah satu dari 23 Bahasa Resmi di India. Sanskerta pernah digunakan di Nusantara pada masa Hindu dan Buddha yang berlangsung sejak Abad ke-2 Masehi hingga menjelang Abad ke-16 seiring runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Nurcholis Madjid lewat Buku Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1999) menautkan pendapat tersebut dengan menuliskan bahwa kata “Santri” bisa pula berasal dari Bahasa Jawa, yakni Cantrik yang bermakna "Orang atau murid yang selalu mengikuti Gurunya".
Ada pula yang mengaitkan asal usul istilah “Santri” dengan kata-kata dalam Bahasa Inggris, yaitu Sun (Matahari) dan Three (Tiga), menjadi Tiga Matahari.
Dinukil dari Tulisan Aris Adi Leksono bertajuk “Revitalisasi Karakter Santri di Era Milenial” dalam NU Online, maksud Tiga Matahari itu adalah 3 (Tiga) Keharusan yang harus dimiliki oleh seorang Santri, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.
Istilah “Santri” bisa pula dimaknai dengan arti “Jagalah Tiga Hal”, sebagaimana yang tertulis di Buku Sejarah Pergerakan Nasional (2015) karya Fajriudin Muttaqin dan kawan-kawan, yaitu menjaga "Ketaatan kepada Allah, menjaga ketaatan kepada Rasul-Nya, dan menjaga hubungan dengan para pemimpin".
Dari Bahasa Arab, asal usul istilah “Santri” juga bisa ditelaah. Kata “Santri” terdiri dari empat huruf Arab, yakni sin (Řł), nun (Ů), ta’ (ŘŞ), dan ro’ (Řą) yang masing-masing mengandung makna tersendiri dan hendaknya tercermin dalam sikap seorang santri, demikian dikutip dari Buku Kiai Juga Manusia: Mengurai Plus Minus Pesantren (2009).
Menurut ulama dari Pandeglang, Banten, K.H. Abdullah Dimyathy, huruf sin (Řł) merujuk pada Satrul al-Awroh (ستعŮ٠اŮŘŚŮع؊) atau "Menutup Aurat"; huruf nun (Ů) berasal dari istilah Na’ibul ’Ulama (ŮؚبŮŮ ŘšŮا٠ا) yang berarti "Wakil dari Ulama"; huruf ta’ (ŘŞ) dari Tarkul al-Ma’ashi (ŘŞŘąŮŮ٠اŮ٠ؚؾŮ) atau "Meninggalkan Kemaksiatan"; serta huruf ro’ (Řą) dari Ra’isul ummah (عؚسŮŮ ŘĄŮ ŘŠ) alias "Pemimpin Umat".
Sedangkan dalam pandangan K.H. M.A. Sahal Mahfudz, Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1999-2014, kata “Santri” berasal dari Bahasa Arab yakni santaro yang berarti “Menutup”. Santri adalah Orang yang Belajar, bukan justru Menutup. Maka, dikutip dari Jurnal Ulul Albab (2014) seorang Santri mustahil Santaro.
K.H. Ma’ruf Amin saat menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU menegaskan, sebutan Santri bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang berada di Pondok Pesantren dan bisa Mengaji Kitab. Namun, Santri adalah orang-orang yang meneladani para Kiai.
“Santri adalah orang-orang yang ikut Kiai, apakah dia belajar di Pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan Kiai, manut [patuh] kepada Kiai. Itu dianggap sebagai Santri walaupun dia tidak bisa Baca Kitab, tapi dia mengikuti perjuangan Para Santri,” papar Ma’ruf Amin dilansir NU Online.
“Pokoknya, Santri itu ikut Kiai, karena itu dia mencakup hampir semua lapisan masyarakat,” imbuh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI) non-aktif yang telah dilantik sebagai Wakil Presiden RI mendampingi Presiden Jokowi hingga 2024 ini.
Interpretasi makna Santri yang hampir serupa juga dipaparkan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj. Menurut dia, santri adalah umat yang menerima Ajaran-ajaran Islam dari para kiai. Para kiai itu Belajar Islam dari Guru-gurunya yang terhubung sampai Nabi Muhammad.
“Santri itu jelas, adalah orang-orang yang menindaklanjuti Dakwah dengan Budaya seperti yang dilakukan Walisongo. Dakwah seperti itu yang jelas ampuh, efektif,” tandas Said Agil Siroj.
Tugas Santri, lanjut Lukman, adalah menebarkan kedamaian kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Ia juga mengungkapkan salah satu ciri dari seorang Santri, yakni memiliki kecintaan yang luar biasa kepada Tanah Air karena mencintai Tanah Air adalah sebagian dari Iman.
“Mengamalkan kewajiban sebagai Warga Negara, hakikatnya mengamalkan ajaran Agama kita,” tegas Lukman Hakim.
(Sumber Artikel : Tirto.id)
Untuk melihat artikel dari postingan terdahulu, silahkan lihat di sini.
Cukup sampai sini saja, semoga para Santri dan Ulama di Indonesia ini lebih baik dan lebih banyak beribadah kepada Allah SWT.
Waltafik hidaiyah,
Wassalammu‘alaikum warramatullahi wabarakatuh.