Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Apa itu RUU Cipta Kerja? Inilah 8 Poin UU Cipta Kerja yang Jadi Sorotan Buruh

Assalammu‘alaikum Wr. Wb. 


Hello gaes! Apakah kamu masih ingat kejadian beberapa hari yang lalu? Yaitu ketika DPR RI telah mengsahkan tentang Undang-undang (UU) Cipta Kerja sejak Senin, 5 Oktober 2020 (18 Shafar 1442 H) kemarin. Karena adanya ketidaknyamanan masyarakat, akhirnya memicu Demo besar-besaran.



Sumber Artikel : Kompas.com

Rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna. 

Dalam Rapat tersebut sebanyak 7 (Tujuh) Fraksi melalui pandangan Fraksi mini telah menyetujui yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.

Sedangkan, 2 (Dua) Fraksi menyatakan menolak RUU ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. Pembahasan RUU Cipta Kerja memicu kontroversi. Meski dirundung penolakan dan Demo besar-besaran serikat buruh di berbagai Daerah, Pemerintah dan DPR tak bergeming dan terus melanjutkan upaya pengesahan RUU Cipta Kerja.

Lalu apa itu RUU Cipta Kerja?

RUU Cipta Kerja adalah bagian dari Omnibus Law. Dalam Omnibus Law, terdapat 3 (Tiga) RUU yang siap diundangkan, antara lain : RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. 

Namun demikian, RUU Cipta Kerja jadi RUU yang paling banyak jadi sorotan publik. Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor. Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia. Hal ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak RUU Cipta Kerja.

Pemerintah dan DPR Kejar Tayang

Pemerintah dan DPR juga dianggap kejar tayang menyelesaikan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. RUU ini digadang-gadang dapat menarik minat Investor Asing menanamkan modal di Tanah Air sehingga bisa mengatrol Pertumbuhan Ekonomi di masa Pandemi COVID-19.

Sejumlah pasal dari RUU Omnibus Law dianggap serikat buruh akan merugikan posisi tawar pekerja. Salah satu yang jadi sorotan yakni penghapusan skema upah minimum UMK yang diganti dengan UMP yang bisa membuat upah pekerja lebih rendah. 

Lalu, buruh juga mempersoalkan Pasal 79 yang menyatakan istirahat hanya 1 Hari per minggu. Ini artinya, kewajiban pengusaha memberikan waktu istirahat kepada pekerja atau buruh makin berkurang dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja.

Jika disahkan, Pemerintah dianggap memberikan Legalitas bagi pengusaha yang selama ini menerapkan jatah Libur hanya sehari dalam sepekan. Sementara untuk Libur 2 Hari per Minggu, dianggap sebagai kebijakan masing-masing perusahaan yang tidak diatur Pemerintah. Hal ini dinilai melemahkan posisi pekerja.

"Istirahat mingguan 1 (Satu) Hari untuk 6 (Enam) Hari kerja dalam 1 (Satu) Minggu," bunyi Pasal 79 RUU Cipta Kerja.

Ketentuan di RUU Cipta Kerja ini berbeda dengan regulasi sebelumnya, UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan, Satu dan Dua Hari bagi pekerjanya.

"1 (Satu) Hari untuk 6 (Enam) Hari kerja dalam 1 (Satu) Minggu atau 2 (Dua) Hari untuk 5 (Lima) Hari kerja dalam 1 (Satu) Minggu," bunyi Pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003.

Beberapa ketentuan juga dianggap kontroversial antara lain terkait pekerja kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu / PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja / PHK (atau Istilah yang gampangnya dipecat), Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, serta Jaminan Sosial.

Apa itu Omnimbus Law?

Secara Terminologi, Omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti untuk semuanya. Dalam konteks Hukum, artinya Omnibus Law adalah Hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu Undang-undang yang mengatur banyak hal. Dengan kata lain, Omnibus Law artinya metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.

Sementara itu, dikutip dari Naskah Akademik Omnibus Law RUU Cipta Kerja, ada 11 Klaster yang masuk dalam undang-undang ini antara lain Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah, serta Kawasan Ekonomi Khusus.

Dalam prosesnya di Parlemen, tidak ada perbedaan dengan proses pembuatan UU pada umumnya sebagaimana yang dibahas di DPR. Hanya saja, isinya tegas mencabut atau mengubah beberapa UU yang terkait.

Banyaknya UU yang tumpang tindih di Indonesia ini yang coba diselesaikan lewat Omnibus Law. Salah satunya sektor ketenagakerjaan. Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah berencana menghapuskan, mengubah, dan menambahkan Pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan. 

Contohnya, Pemerintah berencana mengubah Skema Pemberian Uang Penghargaan kepada Pekerja yang terkena PHK. Besaran Uang penghargaan ditentukan berdasarkan lama karyawan bekerja di satu perusahaan. Namun, jika dibandingkan aturan yang berlaku saat ini, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, skema pemberian uang penghargaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja justru mengalami Penyusutan. 

Di dalam Omnibus Law, pemerintah juga berencana menghapus Skema Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dimana ada penghapusan mengenai hak pekerja mengajukan gugatan ke Lembaga Perselisihan Hubungan Industrial.


8 POIN RUU CIPTA KERJA YANG MENJADI SOROTAN BURUH

Sumber Artikel : Kompas.com

Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) menemukan delapan poin dalam Bab Ketenagakerjaan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang dinilai berpotensi mengancam hak-hak buruh. 

Delapan Poin itu ditemukan berdasarkan hasil kajian FBLP setelah UU Cipta Kerja disahkan dalam Rapat Paripurna di DPR, Senin (5/10/2020M | 18/2/1442H). "Setelah membaca Undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya Delapan (8) bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum," ujar Ketua Umum FBLP Jumisih dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020 | 19/2/1442H).

Delapan (8) Poin yang mendapat sorotan dalam UU Cipta Kerja, yakni :

1. Masifnya Kerja Kontrak

Dalam Pasal 59 ayat 1 Huruf b disebutkan bahwa pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "Tiga Tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut. Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Sementara itu, pelanggaran penerapan Kerja Kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah. Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.

2. Outsourcing pada semua jenis Pekerjaan

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.

Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja Outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan Hak-hak Buruh.

3. Jam Lembur yang semakin Eksploitatif

Pada Pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 Jam dalam sepekan menjadi 4 Jam dalam sehari dan 18 Jam dalam seminggu. Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

4. Menghapus Hak Istirahat dan Cuti

Berdasarkan Pasal 79, Hak Istirahat selama Dua Hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus. Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.

5. Gubernur tak wajib menetapkan Upah Minimum Kabupaten / Kota

Berdasarkan Pasal 88C UU, disebutkan bahwa gubernur “dapat” menetapkan upah minimum Kabupaten / Kota. Artinya, tidak ada kewajiban Hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK. Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “Jaring Pengaman Sosial” terancam.

Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan semakin kokohnya cengkeraman mekanisme Pasar dalam penentuan Upah.

6. Peran Negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi

Sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial saat melakukan PHK kepada buruh. Hal ini, kendati sering dilanggar, penting guna memastikan terpenuhinya Hak-hak Buruh saat terjadi PHK. Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan ini.

7. Berkurangnya Hak Kesangon

Berkurangnya Hak itu karena Penggabungan atau Pengambilalihan Perusahaan, Perusahaan Tutup, Sakit Berkepanjangan, dan Meninggal Dunia. Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan berhak atas pesangon sebanyak dua kali lipat dari perhitungan berdasarkan masa kerja, kini dihapus UU Cipta Kerja.

8. Perusahaan makin mudah melakukan PHK sepihak

Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang Mangkir atau Melanggar Peraturan Perusahaan diatur syarat yang cukup ketat. Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak Obyektif.

Hal ini juga membuat pengurus dan anggota serikat buruh sangat potensial untuk mengalami PHK sepihak oleh perusahaan. Berdasarkan temuan tersebut, FBLP mendesak agar UU Cipta Kerja dibatalkan. "UU Cipta Kerja, sebagaimana telah mendapatkan kritikan sebelumnya, juga merupakan serangan pada Masyarakat Luas, Petani, Pelayan, Masyarakat Adat, Kaum Miskin Kota, Perempuan, Pemuda, Pelajar, Mahasiswa, dan lainnya. Karena itu, kami menyatakan sikap, batalkan UU Cipta Kerja sekarang juga," kata Jumisih.


Memang seharusnya kita tidak ikutserta dalam Aksi Demo ini, apalagi di saat Pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung terutama bagi para Pekerja Buruh. Semoga tidak ada kejadian seperti ini lagi apalagi 2 Bulan lagi akan dilaksanakan Pilkada Serentak 2020 pada Bulan Desember nanti. 

Oh ia, belakangan kali ini juga dihebohkan bahwa Situs DPR RI telah diretas dan diubah namanya menjadi "Dewan Pengkhianat Rakyat", padahal seharusnya DPR itu adalah singkatan dari "Dewan Perwakilan Rakyat". Untuk selengkapnya, silahkan lihat dan baca di sini.

Terima Kasih dan;

Wassalammu‘alaikum Wr. Wb. 

Ads