Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengapa saat ini ada Konflik antar Rusia dan Ukraina? Inilah Sejarah hingga Dampak Ekonomi yang dapat menyebabkan Perang Dunia Ketiga

Assalammu‘alaikum Wr. Wb.

Salam Sejahtera! Belakangan kali ini dihebohkan dengan adanya Penyerangan yang menyebabkan Konflik antara Rusia dan Ukraina yang sama-sama merupakan Negara Slavik. Konflik ini dimulai dari Tanggal 24 Februari 2022 (23 Rajab 1443 H) lalu saat Vladimir Putin melakukan Invasi di wilayah Ukraina. Lalu apakah penyebabnya hingga Konflik, apakah bisa menyebabkan Perang Dunia ke-3? Mari kita bahas pada Artikel ini.



SEJARAH KONFLIK RUSIA-UKRAINA

Sumber Artikel : Kompas.com

Konflik Rusia vs Ukraina akhirnya pecah saat Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan invasi di wilayah Ukraina, pada Kamis (24/2/2022 | 23/7/1443). Putin menyebut invasi dilakukan karena pihaknya tidak memiliki pilihan selain mempertahankan diri dari ancaman Ukraina modern.

“Rusia tidak bisa merasa aman, berkembang, dan Eksis dengan ancaman konstan yang berasal dari wilayah Ukraina modern,” ujarnya dalam pidato yang disiarkan dalam televisi Pemerintah Rusia.

Sejarah Konflik Rusia vs Ukraina

Dilansir dari Al-Jazeera, sekitar 1.200 Tahun lalu, Rusia, Ukraina, dan Belarusia lahir di tepi Sungai Dnieper di Kievan Rus, sebuah negara adidaya pada abad pertengahan yang luasnya mencakup sebagian besar Eropa Timur. Meski dari tanah yang sama, Rusia dan Ukraina memiliki perbedaan yang menonjol, mulai dari bahasa, sejarah, dan kehidupan politiknya.

Namun, Putin berulang kali mengeklaim jika keduanya adalah satu bagian dari peradaban Rusia. Sementara Ukraina, berulang kali membantah klaim tersebut.

Keruntuhan Uni Soviet (1991)

Pemimpin Uni Soviet kala itu, Mikhail Gorbachev mengundurkan diri pada 25 Desember 1991. Pengunduran dirinya ini sekaligus tanda keruntuhan Uni Soviet.

Sebelum pengunduran Gorbachev, tepatnya pada 1 Desember 1991, 90 Persen warga Ukraina menyetujui referendum kemerdekaan dari Uni Soviet. Presiden Ukraina, Belarusia, dan Rusia pun bertemu untuk secara resmi membubarkan Uni Soviet, sesuai aturan yang tertulis dalam Konstitusi Uni Soviet.

Dengan demikian, Ukraina merdeka secara de jure (berdasarkan hukum) dan diakui oleh komunitas internasional.

Setelah Ukraina merdeka, hubungannya dengan Rusia mulai memanas saat Viktor Yushchenko terpilih sebagai Presiden Ukraina pada Tahun 2005. Selama periode kepemimpinan Yushchenko, Ukraina cenderung mendekat ke Uni Eropa ketimbang Rusia. Hal inilah yang kian memanaskan hubungan keduanya.

Hubungan keduanya lumayan mereda saat pemilihan umum (pemilu) 2010, Viktor Yanukovych terpilih menjadi Presiden Ukraina. Yanukovych adalah seseorang yang didukung oleh Rusia dan menginginkan Ukraina lebih dekat dengan Moskwa (ibu kota Rusia).

Krisis 2013

Ukraina dilanda krisis dengan merebaknya protes di ibu kota Kiev, pada November 2013. Kala itu, massa menentang keputusan Yanukovych yang menolak kesepakatan integrasi ekonomi yang lebih besar dengan Uni Eropa.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepemimpinan Yanukovych cenderung dekat dengan Rusia. Inilah yang menjadikan ia menolak integrasi ekonomi Uni Eropa. Setelah tindakan keras oleh pasukan keamanan, massa unjuk rasa justru bertambah dan konflik pun semakin meningkat.

Puncaknya adalah pada Februari 2014, saat parlemen Ukraina melengserkan Yanukovych dari jabatannya.

Pelengseran Yanukovych menyebabkan konflik dalam pemerintahan Ukraina. Pemerintahan terbagi menjadi dua kubu, yakni pendukung Uni Eropa dan pendukung Rusia.

Pendukung Uni Eropa berasal dari masyarakat dan politisi Ukraina daratan, sedangkan pendukung Rusia berasal dari masyarakat dan politikus Krimea, sebuah semenanjung di kawasan Laut Hitam.

Krisis Krimea (2014)

Awal 2014, Krimea meminta bantuan Rusia untuk menyelesaikan konflik di dalam negerinya. Pemerintah Rusia pun menerima permintaan tersebut dan mengirimkan pasukannya untuk menduduki Krimea.

Hal tersebut Rusia lakukan lantaran letak geopolitik Krimea yang strategis dan bisa dimanfaatkan Rusia untuk memperkuat pengaruh di kawasan Eropa Timur dan Timur Tengah. Melihat campur tangan Rusia atas konflik dalam negeri Ukraina, Uni Eropa pun mengecam. Situasi Ukraina kemudian meningkat pada Juli 2014 dan membuat Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa berselisih dengan Rusia.

Sementara itu, sejak akhir Februari 2014, demonstrasi oleh kelompok pro-Rusia dan anti-pemerintah berlangsung di kota-kota besar di seluruh timur dan selatan Ukraina. Protes di wilayah Donetsk dan Luhansk meningkat dan berkembang menjadi pemberontakan separatis bersenjata. Hal tersebut membuat pemerintah Ukraina meluncurkan serangan militer balasan terhadap pemberontak yang berdampak pada munculnya konflik bersenjata di Donbass.

Gagalnya Perjanjian Minsk (2015)

Sejak Februari 2015, Rusia dan Ukraina telah berusaha untuk menghentikan kekerasan melalui Perjanjian Minsk, dengan Perancis dan Jerman sebagai penengah.

Perjanjian tersebut mencakup ketentuan untuk gencatan senjata, penarikan persenjataan berat, serta kontrol penuh pemerintah Ukraina di seluruh zona konflik.

Namun, upaya damai ini gagal dan konflik bersenjata di Donbass masih terus berlangsung hingga sekarang.

Ukraina ingin gabung NATO

Konflik Rusia vs Ukraina yang terjadi saat ini juga disebabkan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Keinginan Ukraina tersebut semakin memicu ketegangan antar keduanya.

NATO sendiri adalah organisasi pertahanan dan keamanan di kawasan Atlantik Utara yang meliputi negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada. Beberapa negara bekas Uni Soviet juga menjadi bagian dari NATO, seperti Lithuania, Estonia, dan Latvia.

Putin akui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk (2022)

Konflik kedua negara ini kian memanas saat Senin (21/2/2022 | 20/7/1443) lalu, Putin mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis pro-Rusia di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk. Hal tersebut Putin sampaikan melalui pidato di televisi yang dikelola Pemerintah Rusia.

"Saya percaya perlu mengambil keputusan yang sudah lama tertunda, untuk segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk," kata Putin. 

Putin melanjutkan dalam pidatonya, bahwa Barat telah meludahi masalah keamanan Rusia selama bertahun-tahun dengan memindahkan NATO ke timur serta menempatkan infrastruktur militer lebih dekat ke perbatasan Rusia.

Hingga puncaknya, Putin pun menyerukan invasi ke wilayah Ukraina pada Kamis (24/2/2022 | 23/7/1443).


MENGENAL CHECHNYA, WILAYAH DI RUSIA YANG TERDAMPAK KONFLIK


Sumber Artikel : Tempo.co

Chechnya mendadak menjadi perhatian dunia ketika memutuskan mengirimkan tentaranya ke Ukraina, yang sedang dikecamuk ketegangan dengan Rusia. Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov bahkan ikut mendesak agar warga Ukraina menggulingkan Pemerintahan berkuasa di negara itu saat ini.  

Sikap Chechnya yang cukup berani itu, cukup mengagetkan masyarakat dunia. Chechnya adalah sebuah pemerintahan berbentuk republik di barat daya Rusia atau wilayah utara pegunungan Greater Caucasus.

Chechnya mendapatkan kemerdekaannya secara de facto usai perang Chenchen pada 1994 – 1996. Namun, secara de jure Chechnya masih menjadi bagian dari Rusia.

Secara geografis wilayah utara Chechnya berbatasan dengan Rusia, sedang wilayah timur dan tenggaranya berbatasan dengan Republik Dagestan dan berbatasan dengan Georgia pada bagian barat dayanya.

Pada awal abad ke-21, Chechnya dikecamuk oleh konflik yang berlangsung lebih dari satu dekade hingga mendorong terjadinya eksodus pengungsi, tetapi untungnya perekonomian wilayah tersebut masih bertahan.

Wilayah Chechnya boleh dibilang mungil, yakni hanya 12.300 km persegi. Populasi Chechnya kurang dari 2 Juta Jiwa, dengan mayoritas penduduk beragama Islam.

Tulang punggung perekonomian Chechnya adalah minyak bumi dan pengeboran (minyak) yang umumnya dilakukan di lembah Sunzha River, yang terletak antara Grozny dan Gudermes. Minyak bumi banyak berada di Grozny, ada pula sejumlah pipa yang menghubungkan Laut Caspia dengan Makhachkala lalu ke Laut Hitam di Tuapse.

Chechnya juga punya gas alam. Sedangkan pertanian di Chechnya, umumnya terletak di lembah Tarek dan Sunzha.

Pemerintahan Presiden Kadyrov di Chechnya, yang terpilih pada 2007, mendapatkan dukungan dari Presiden Rusia, Vladimir Putin. Saat Rusia serang Ukraina, Kadyrov terdorong untuk membela Rusia dengan mengirimkan tentaranya ke Ukraina.

Dia mengklaim, sejauh ini pasukannya tidak mengalami kekalahan, tidak ada yang gugur, bahkan tidak ada yang pilek. Kadyrov meyakinkan tentara Chechnya akan berusaha sebaik mungkin menghindari jatuhnya korban jiwa.


APAKAH KONFLIK RUSIA-UKRAINA DAPAT MENYEBABKAN PERANG DUNIA KE-3?

Sumber Artikel : Kompas.com

Presiden Rusia Vladimir Putin telah melancarkan operasi militer khusus ke wilayah Ukraina, Tanggal 24 Februari 2022 (23 Rajab 1443 H).

Dalam waktu singkat pasukan Rusia berhasil masuk ke wilayah Ukraina dan menguasai beberapa wilayah negara tetangganya tersebut, termasuk bekas pembangkit listrik tenaga nuklir, Chernobyl.

Serangan Rusia ke Ukraina ini dikhawatirkan bisa memicu perang yang lebih besar lagi, yakni perang dunia III atau World War 3 (WW3). Kekhawatiran itu menggema di media sosial, Twitter. Pada Kamis (24/2/2022 | 23/7/1443) lalu atau tidak lama setelah pengumuman Operasi Militer Rusia ke Ukraina saja, terdapat lebih dari 144.000 Twit tentang World War III.

Bahkan topik World War III ini sempat menempati urutan trending topik bersama dengan Ukraina, NATO, Putin, dan beberapa hal lainnya yang berkaitan dengan serangan Rusia ke Ukraina.

Lalu benarkah invasi Rusia ke Ukraina bisa memicu terjadi perang dunia (PD) III? Berikut penjelasan ahli terkait potensi terjadinya PD III dalam serangan Rusia ke Ukraina.

Penjelasan Ahli

Ahli Ekonomi dan Politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Dr. Ign. Agung Satyawan menuturkan, beberapa ahli menyebut bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina ini bisa memicu Perang Dunia III.

“Asumsi ini benar jika eskalasi konflik menjadi tidak terkendali. Artinya tidak hanya terbatas pada konflik Rusia – Ukraina tapi merembet ke negara lain,” jelas Agung, dalam berita Kompas.com, Kamis (24/2).

Namun menurut Agung, sejauh ini serangan yang dilakukan Rusia ke Ukraina masih belum terlalu jelas arahnya.

“Kita belum tahu target serangan Rusia ini, apakah terbatas hanya memberi ‘pelajaran’ kepada Ukraina mengenai persoalan Donetsk dan Luhansk atau akan menguasai seluruh Ukraina,” imbuhnya.

Ia menambahkan, apabila Rusia menjadikan seluruh wilayah Ukraina sebagai target serangan, NATO atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara akan merespons tindakan tersebut.

Sebab Ukraina tidak memiliki payung pertahanan dan alutsista yang terbatas jika dibandingkan dengan Rusia.

“Namun bila hal itu (seluruh wilayah Ukraina diserang) terjadi, NATO bisa saja mengumumkan bahwa Ukraina diterima menjadi anggotanya. Konsekuensinya, akan terjadi head-to-head antara NATO dengan Rusia dan hal ini akan memicu Perang Dunia III,” jelas Agung.

“Jika Perang Dunia III terjadi, mereka yang berperang akan menggunakan senjata mutakhirnya termasuk senjata pemusnah massal yaitu senjata nuklir maupun biologi,” imbuhnya.

Padahal dampak penggunaan senjata nuklir pada perang sangatlah berbahaya. Bahkan bisa meniadakan kehidupan planet bumi ini. Itulah yang menyebabkan banyak pihak khawatir terhadap potensi terjadinya perang dunia III.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana juga menyebut invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina bisa saja memicu perang dunia III.

"Operasi militer yang dilancarkan oleh Rusia dan serangan balik oleh Ukraina berpotensi untuk bereskalasi menjadi PD III," ujar dia, dalam keterangannya kepada Kompas.com, Jumat (25/2/2022 | 24/7/1443) sore.

Upaya penyelesaian konflik Rusia dan Ukraina

Hikmahanto menuturkan, Indonesia dapat mengambil peran dalam meredam gejolak yang terjadi, yakni melalui Majelis Umum (MU) Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Sebab, menurut dia, pemberian sanksi ekonomi dari negara-negara Eropa Barat dan AS ke Rusia tidak akan berdampak lebih.

"Sanksi tersebut tidak akan efektif karena tiga alasan. Pertama, sanksi ekonomi baru akan terasa di level masyarakat Rusia dan para Elit dalam waktu 6 Bulan bahkan satu tahun ke depan," terang Hikmahanto.

Alasan kedua adalah Rusia bukanlah negara yang bergantung ke banyak negara, sehingga sanksi ekonomi tidak terlalu efektif. Sedangkan alasan yang ketiga adalah, Rusia akan dibantu oleh sekutu-sekutunya, bahkan oleh China yang melihat potensi keuntungan secara finansial.

Sedangkan jika melakukan penyelesaian konflik Rusia-Ukraina melalui Dewan Keamanan (DK) PBB, Hikmahanto menilai hal itu juga sulit akan berhasil, sebab Rusia merupakan anggota tetap DK PBB yang memiliki Hak Veto.

"Apa pun draf resolusi yang bertujuan untuk melumpuhkan Rusia secara militer akan diveto oleh Rusia," kata Hikmahanto.

Oleh karenanya, ia berpendapat, satu-satunya upaya terbuka untuk penyelesaian damai adalah melalui MU PBB.

Sejauh ini invasi Rusia ke Ukraina sudah memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky mengatakan, sebanyak 137 Warga Ukraina tewas di hari pertama invasi Rusia ke negaranya.


DAMPAK EKONOMI AKIBAT DARI KONFLIK RUSIA-UKRAINA

Sumber Artikel : CNN Indonesia

Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina tidak hanya berdampak secara fisik, tapi juga berpengaruh ke perekonomian global. Hal ini terjadi karena ekonomi global saling terhubung satu sama lain. Invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina akan menghambat Pemulihan Ekonomi akibat Pandemi COVID-19 di kawasan Eropa dan Global.

Lantas, dampak ekonomi apa saja yang akan terjadi akibat ketegangan ekonomi kedua negara tersebut?

1. Harga Minyak Dunia

Serangan Rusia ke Ukraina telah mempengaruhi harga minyak dunia. Rusia sendiri merupakan negara yang kaya dengan sumber daya energi.

Rusia dapat memproduksi 9,7 Juta Barel Minyak per hari. Catatan tersebut menempatkan Rusia sebagai negara penghasil minyak kedua terbesar setelah Amerika Serikat (AS).

JP Morgan memperingatkan bahwa jika ada aliran minyak Rusia yang terganggu oleh krisis, maka harga minyak bisa dengan mudah melonjak menjadi US$ 120 per Barel.

Jika ekspor minyak dari Rusia berkurang setengahnya, harga minyak mentah akan melonjak hingga US$150 per barel.

2. Ancaman Inflasi

Ketegangan Rusia dengan Ukraina dapat membuat inflasi di beberapa negara memburuk. Jika minyak naik menjadi lebih dari US$ 100 per Barel, tingkat inflasi di Amerika Serikat (AS) secara tahunan bisa naik hingga 10 Persen.

Harga minyak yang tinggi tentu akan dibebankan kepada perusahaan hingga konsumen. Selain energi, komoditas lain dapat mengalami gejolak harga seperti logam, aluminium, dan paladium.

"Semua ini akan terjadi pada saat pasokan komoditas lebih tertekan daripada sebelumnya dalam beberapa tahun terakhir," kata Kepala Strategi Global JPMorgan Funds David Kelly dikutip dari CNN Business, Kamis (24/2).

3. Gejolak Pasar Saham

Saat ini investor tengah fokus terhadap gejolak Rusia dan Ukraina. Tanda-tanda eskalasi perang membuat investor menahan transaksi di pasar saham.

Investor berpotensi melakukan aksi jual besar-besaran. Pasalnya, kenaikan harga minyak dunia dan inflasi karena aksi militer Rusia membuat investor khawatir dengan proses Pemulihan Ekonomi di Dunia.

Ketidakstabilan pasar juga dapat merusak kepercayaan di antara konsumen dan pelaku bisnis.

4. Pertumbuhan Ekonomi Melambat

Konflik seperti invasi dan peperangan memang dapat mengganggu stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikhawatirkan dapat terjadi pada invasi yang dilakukan Rusia.

AS khawatir ketegangan antar kedua negara dapat memperburuk Pemulihan Ekonomi negaranya, memperburuk inflasi, dan meningkatkan ketidakpastian.

Analisis mengemukakan apabila lonjakan harga minyak dunia menyentuh US$ 110 per Barel, maka akan mengurangi PDB AS sebesar 1 Persen.

Memang tidak sedramatis dampaknya terhadap inflasi, tetapi masih signifikan mengingat ekonomi AS belum sepenuhnya pulih akibat Pandemi.

5. Kenaikan Suku Bunga

Jika inflasi melonjak di atas 10 Persen, tentu The Fed akan mengendalikan harga dengan menaikkan suku bunga yang lebih cepat.

Kenaikan suku bunga yang akan datang dari The Fed akan meningkatkan biaya pinjaman bagi konsumen dalam segala hal. Beberapa contohnya, seperti hipotek, pinjaman mobil, hingga kartu kredit.

The Fed dapat memilih untuk mengabaikan peningkatan inflasi hanya sebagai fenomena sementara yang didorong oleh situasi Rusia-Ukraina. Namun, strategi itu tidak berjalan dengan baik tahun lalu, di mana The Fed akhirnya mengabaikan deskripsi "sementara" tentang inflasi terkait pandemi.

Yang pasti, ketegangan Rusia-Ukraina akan semakin memperumit tugas The Fed untuk mengendalikan inflasi tanpa memicu Resesi Ekonomi.

6. Serangan Siber

Presiden AS Joe Biden memperingatkan Rusia untuk tidak melancarkan aksi serangan siber. "Jika Rusia menyerang Amerika Serikat atau sekutu melalui cara asimetris, seperti serangan siber yang mengganggu terhadap perusahaan kami atau infrastruktur penting, kami siap untuk merespons," kata Biden.

Serangan siber hanyalah salah satu contoh bagaimana situasi Rusia-Ukraina dapat meluas ke kehidupan sehari-hari. "Perang berkembang dengan cara yang tidak terduga. Tidak seorang pun boleh berasumsi bahwa mereka dapat melihat semua dampak perang pada awalnya," kata Kelly.


Semoga saja negara kita Indonesia tidak terdampak pada Konflik ini, karena masih membayangi Pandemi COVID-19 yang masih melanda Dunia ini. Dan semoga saja Perang Dunia Ketiga ini TIDAK akan Terjadi, Aamiin.

#StandWithUkraine    #StopConflict    #StopTheWar

Terima Kasih / Thank You / ХпасийО (Spasibo),

Wassalammu‘alaikum Wr. Wb.

Ads