Inilah Hal-hal menarik seputar COVID-19, mulai dari Gejala Baru, Alat Tes Baru, hingga Info Vaksin
Assalammu‘alaikum wr. wb.
Hello guys, apa kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja dan sehat selalu ya! Sekarang sudah tepat 1 Tahun sejak WHO memberikan Nama untuk Penyakit Virus Corona baru ini, yaitu COVID-19. Sekarang ada hal-hal yang menarik nih seputar COVID-19.
Memang sekarang Jumlah Kasus Positif COVID-19 di Indonesia telah mencapai 1,25 Juta Orang, dengan Jumlah Kasus Kematian sebanyak 33 Ribuan Orang dan Kasus Sembuh sebanyak 1,05 Juta Orang. Dan juga Jumlah Kasus Positif COVID-19 secara Global (Seluruh Dunia) telah mencapai 110 Juta Orang, dengan Jumlah Kasus Kematian sebanyak 2,4 Juta Orang dan Kasus Sembuh sebanyak 85 Juta Orang. [Update Data COVID-19 per Tanggal 18 Februari 2021 / 6 Rajab 1442 H]
Dan inilah beberapa Topik dan Pembahasan menarik seputar COVID-19.
DAFTAR GEJALA-GEJALA BARU SEPUTAR COVID-19
Sumber Artikel : Health.Detik.com
Adanya mutasi memunculkan berbagai Gejala Virus Corona baru. Jika sebelumnya gejala yang dikenal hanya Demam dan Sesak Napas, kini berbagai keluhan sehari-hari seperti cegukan dan gangguan penciuman juga bisa jadi gejala.
Misteri di balik Virus Corona COVID-19 jadi makin banyak yang perlu terungkap. Salah satunya bahwa sejumlah pasien yang mengidap penyakit tersebut bisa mengalami gejala Virus Corona COVID-19 yang berbeda-beda.
Gejala Virus Corona baru yang ditemukan adalah cegukan terus-menerus. Dikutip dari laman Express, beberapa studi menemukan bahwa cegukan secara terus-menerus mungkin mengindikasikan gejala COVID-19 yang langka dan tidak biasa. Pada Studi di Tahun 2020 menemukan seorang pria yang berusia 64 Tahun yang Cegukan terus-menerus sebagai satu-satunya Gejala Baru Virus Corona.
Orang yang diamati dalam studi tersebut mengunjungi klinik setelah mengalami cegukan selama 72 Jam. Tes darah dan paru-paru menunjukkan adanya infeksi paru-paru dan jumlah sel darah putih yang rendah. Ia pun dinyatakan Positif COVID-19.
Cegukan terus menerus merupakan salah satu gejala yang dialami Pasien Corona selain Batuk, Demam, dan Sesak Napas.
Dikutip dari berbagai sumber, berikut sejumlah Gejala Virus Corona baru yang perlu diwaspadai.
1. Sakit Mata
Gejala Virus Corona baru yang dilaporkan belum lama ini adalah sakit mata. Sebuah studi dari Anglia Ruskin University (ARU), Inggris, menemukan sebanyak 18 persen pasien Corona mengalami Fotofobia (Sensitivitas Cahaya) sebagai salah satu gejalanya.
Dari 83 Responden, 81% melaporkan masalah mata dalam dua minggu setelah gejala COVID-19 lainnya muncul. Dari jumlah tersebut, 80% melaporkan masalah mata mereka berlangsung kurang dari dua minggu.
"Ini adalah studi pertama yang menyelidiki berbagai gejala mata yang mengindikasikan konjungtivitis dalam kaitannya dengan COVID-19, kerangka waktunya dalam kaitannya dengan gejala COVID-19 yang diketahui dan durasinya," jelas penulis utama Profesor Shahina Pardhan, Direktur Vision and Eye Research Institute di ARU.
2. Delirium
Delirium merupakan gejala mental yang membuat penderitanya mengalami kebingungan berat dengan kesadaran yang berkurang akibat terganggunya sistem saraf pusat. Gejala COVID-19 ini umumnya muncul pada kelompok Lanjut Usia (Lansia).
"Delirium adalah keadaan kebingungan di mana seseorang merasa tidak terhubung dengan kenyataan, seolah sedang bermimpi," kata peneliti dari University of Catalonia, Javier Correa.
[Untuk membaca selanjutnya tentang Delirium (Gejala COVID-19) di Blog ini, silahkan baca dan lihat di sini.]
3. Kelelahan
Berdasarkan Studi yang telah diterbitkan di JAMA (Journal of the American Medical Association), kelelahan merupakan salah satu gejala COVID-19 yang dapat bertahan lama setelah seseorang terinfeksi virus Corona.
Studi ini menemukan, sebanyak 53% Pasien Corona mengalami kelelahan selama sekitar 60 Hari setelah Pertama kali mengalami Gejala COVID-19.
4. Masalah Pencernaan
Menurut studi, masalah pencernaan yang diakibatkan oleh infeksi virus Corona bisa berupa diare dan muntah-muntah. Umumnya, pasien Corona yang mengalami masalah pencernaan juga disertai dengan Gejala COVID-19 lainnya.
Diketahui, hanya 4% orang yang didiagnosis positif COVID-19 karena Muntah dan Diare sebagai Gejala Tunggal Tanpa Gejala Penyerta.
5. Ruam Kulit
Dokter kulit dari DNI Skin Centre, Dr dr I Gusti Nyoman Darmaputra, SpKK(K), FINSDV, FAADV, mengatakan bahwa infeksi virus Corona bisa menyebabkan ruam kulit. Namun, ruam kulitnya cenderung bersifat ringan dan tidak berisiko fatal.
"Kemungkinan muncul ruam pada pasien COVID itu bervariasi risikonya sekitar 0,2% - 20%," jelas dr Darma.
6. Nyeri Otot
Penelitian yang diterbitkan di the journal Annals of Clinical and Translational Neurology menemukan bahwa 44,8% relawan yang berpartisipasi mengalami nyeri otot akibat COVID-19.
Rasa nyeri ini mungkin disebabkan karena peradangan yang terjadi di dalam tubuh akibat Infeksi Virus Corona. Selain itu, para Pasien Corona yang sudah sembuh juga bisa mengalami nyeri otot.
7. Kehilangan Indra Penciuman dan Perasa
Kehilangan Indra Penciuman dan Perasa merupakan salah satu gejala COVID-19 yang kerap kali dirasakan Pasien Corona. Butuh waktu hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan agar Fungsi Indra tersebut pulih kembali.
Beberapa pasien yang menderita gejala Virus Corona baru ini seringkali membutuhkan perawatan dan terapi seperti pelatihan penciuman. Ini dilakukan untuk 'memperbaiki' otak agar secara akurat bisa mengenali rasa, bau, dan aroma yang tepat seperti sebelumnya.
8. Parosmia
Gejala Virus Corona baru yang ditemukan adalah Parosmia atau Distorsi Penciuman. Dikutip dari laman Healthline, Parosmia merupakan suatu kondisi terganggunya indra penciuman.
Parosmia bisa menyebabkan penderitanya mengalami "Halusinasi Penciuman". Misalnya seperti bau yang harum mungkin akan tercium busuk.
Kondisi ini pun dialami oleh sejumlah Pasien COVID-19. Seorang ahli bedah telinga dan tenggorokan (THT), Profesor Nirmal Kumar, mengatakan bahwa gejala COVID-19 yang satu ini sangatlah aneh dan unik. Ia menjelaskan, gejala parosmia yang dialami kedua pasiennya akibat dari COVID-19.
"Kami menyebutnya virus neurotropik. Artinya, virus ini mempengaruhi saraf di atap hidung, seperti gangguan pada sistem saraf Anda, dan saraf tidak berfungsi," lanjutnya.
TANDA-TANDA TERKENA LONG COVID (+ GEJALA COVID-19 YANG TAK MENGHILANG)
Sumber Artikel : Health.Detik.com dan CNBC Indonesia (Serta Tempo.co)
Baru-baru ini beberapa Pasien COVID-19 mengakui mengalami Sesak Napas, Kelelahan, Sakit Kepala dan Brain Fog selama berbulan-bulan setelah pertama kalinya mengalami gejala pertama. Para ahli medis mulai mendiagnosis dan merawat pasien dengan gejala yang saat ini disebut 'Long Covid'. Dilansir dari CNBC, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus pekan ini telah mengadakan pertemuan dengan pasien, dokter, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendapatkan masukan mengenai Long Covid ini.
"Penyakit ini memengaruhi Pasien dengan COVID-19 yang parah dan ringan. Bagian dari tantangannya adalah bahwa pasien dengan Covid yang lama dapat memiliki berbagai gejala berbeda yang dapat menetap atau dapat datang dan pergi," kata Tedros.
Pertemuan ini ditujukan untuk membuat deskripsi klinis yang disepakati dari kondisi tersebut sehingga Dokter akan dapat mendiagnosis dan merawat Pasien secara efektif. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan pertama dan akan dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya.
Tedros memperingatkan bahwa mengingat berapa banyak orang yang telah terinfeksi Virus secara Global, kemungkinan banyak yang akan mengalami gejala yang menetap ini. Salah satu Studi mengenai Long Covid ini dipublikasikan pada awal Januari ini di MedRxiv, ditemukan bahwa banyak orang yang menderita penyakit yang berkelanjutan setelah terinfeksi tidak dapat kembali bekerja dengan kapasitas penuh 6 (Enam) Bulan kemudian.
Ini ditemukan dalam Survei atas lebih dari 3.700 Orang berusia 18 hingga 80 Tahun dari 56 Negara untuk mengidentifikasi gejalanya. Gejala yang paling sering dialami setelah enam bulan adalah kelelahan, kelelahan setelah Olahraga dan Disfungsi Kognitif, kadang-kadang disebut sebagai Brain Fog.
"Kami benar-benar tidak tahu apa yang menyebabkan gejala ini. Itu adalah fokus utama dari penelitian saat ini," kata Dr. Allison Navis, profesor di Fakultas Kedokteran Icahn di Mount Sinai.
"Ada pertanyaan apakah ini adalah sesuatu yang unik untuk Covid itu sendiri - dan Virus Covid-lah yang memicu gejala-gejala ini, atau apakah ini bisa menjadi bagian dari sindrom pasca-virus secara umum," lanjutnya.
Dia menambahkan bahwa para ahli medis melihat gejala jangka pendek yang sama setelah Infeksi Virus lainnya.
Studi lain yang diterbitkan pada awal Januari di jurnal medis The Lancet mempelajari 1.733 Pasien yang dipulangkan dari sebuah rumah sakit di Wuhan, China antara Januari dan Mei Tahun lalu. Dari pasien tersebut ditemukan 76% dari mereka melaporkan setidaknya 1 (Satu) Gejala dalam 6 (Enam) Bulan setelah penyakit awal mereka. Proporsi lebih tinggi pada Wanita.
"Kami menemukan bahwa kelelahan atau kelemahan otot, kesulitan tidur, dan kecemasan atau depresi adalah hal biasa, bahkan pada 6 bulan setelah timbulnya gejala," tulis hasil penelitian tersebut.
Mereka mencatat bahwa gejala yang dilaporkan berbulan-bulan setelah diagnosis COVID-19 seseorang konsisten dengan data yang sebelumnya ditemukan dalam studi lanjutan Sindrom Pernafasan Akut Parah, atau SARS, yang juga merupakan Vrus Corona.
Untuk menanggulangi masalah ini, beberapa pusat kesehatan besar telah membuat t klinik pasca-Covid untuk membantu merawat pasien dengan gejala yang terus-menerus.
Navis mengatakan kliniknya di Mount Sinai di New York City telah menangani jumlah pasien yang merata antara pria dan wanita yang mengalami gejala ini dengan usia rata-rata pasien adalah 40 Tahun.
Dr Kathleen Bell, seorang profesor di University of Texas Southwestern Medical Center, mengatakan gejala klinis jangka panjang COVID-19 rumah sakitnya sudah tampak April tahun lalu ketika gelombang infeksi melanda Italia dan New York pada Awal Pandemi.
Dia mengatakan bahwa berbagai profesional diperlukan untuk staf klinik karena gejalanya beragam, termasuk ahli yang dapat mengobati kelemahan otot, penyakit terkait jantung dan masalah kognitif bagi mereka yang mengalami gangguan mental.
"Ini benar-benar, dalam banyak hal, memaksa kita semua untuk berkumpul dan memastikan kita memiliki jalur komunikasi terbuka untuk menangani semua masalah ini bagi pasien," terangnya.
Bell menambahkan bahwa Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit mengadakan panggilan dengan Pusat Covid yang lama di seluruh negeri pada bulan Januari untuk membahas model mereka untuk merawat pasien.
"Saya benar-benar berpikir bahwa CDC sekarang mencoba untuk menggabungkan pusat-pusat dan mendapatkan beberapa pedoman yang lebih tegas untuk ini yang sangat menarik," tandasnya.
Berikut, inilah 5 (Lima) Gejala COVID-19 yang tidak menghilang.
1. Kelelahan yang Ekstrem
Fauci mencatat kelelahan ekstrem sebagai gejala Long Covid pertama yang paling umum. Dalam survei yang dilakukan oleh Survivor Corps — grup Facebook yang berisi penyintas COVID-19 — yang dipimpin oleh Natalie Lambert, MD, profesor di Indiana University School of Medicine, para peneliti berbicara dengan lebih dari 1.500 Pengamat jarak jauh tentang gejala mereka untuk menentukan 98 Gejala yang paling umum. Menurut temuan mereka, 100% dari mereka yang disurvei melaporkan merasa kelelahan.
2. Nyeri Otot
Fauci juga menggambarkan nyeri otot dan nyeri sebagai gejala umum yang dapat bertahan, yang sejalan dengan apa yang dilaporkan dalam survei Survivor Corps. Nyeri otot adalah efek Long Covid kedua yang paling umum dilaporkan dengan hampir 67% mengalami gejala tersebut.
3. Gangguan Tidur
Tidur yang terganggu juga merupakan gejala umum PACS, kata Fauci. Menurut survei Survivor Corp, 50% penderita COVID-19 mengalami kesulitan untuk menutup mata.
4. Disregulasi Suhu
Fauci mengatakan bahwa pasien PACS juga umumnya menderita masalah di mana mereka merasa kedinginan atau tidak mengatur suhu tubuhnya dengan benar. Meskipun ini bukan gejala yang dilacak oleh survei Survivors Corp, 29% Pasien mengatakan bahwa mereka mengalami demam atau menggigil lama setelah "Pulih" dari Virus.
5. Kabut Otak
Yang terakhir dalam daftar Fauci tentang gejala Long Covid adalah salah satu yang paling meresahkan dan misterius bagi Pasien COVID-19 : Kabut Otak, "yang berarti mereka sulit fokus atau berkonsentrasi," jelasnya. Di antara penderita Long Covid yang disurvei dalam laporan Survivors Corp, 59% mengatakan mereka mengalami kesulitan berkonsentrasi.
APA ITU D-DIMER? INILAH FAKTA-FAKTA MENARIK SEPUTAR D-DIMER
Sumber Artikel : Health.Detik.com
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan membahas istilah D-dimer dalam tulisan di blognya. Dalam tulisannya yang mengutip dari seorang pakar, Dahlan Iskan menyebut D-dimer ini sangat ditakuti para dokter yang menangani Pasien COVID-19 di ICU.
"D-dimer adalah munculnya 'Cendol-cendol' di dalam darah. Lapisan protein tertentu dalam darah menyatu dengan 'Teman sejenis' sehingga membentuk gumpalan kecil-kecil," tulis Dahlan Iskan.
Kepada detikcom, Dokter Jantung dari RS Siloam dr Vito A Damay, SpJP(K) menjelaskan apa itu D-dimer hingga Faktor penyebabnya. Berikut 5 Hal yang perlu diketahui soal D-dimer.
1. Apa itu D-dimer?
D-dimer adalah fragmen protein yang muncul saat bekuan darah larut dalam tubuh. D-dimer ini memang diperiksa pada Pasien COVID-19.
Dalam kondisi normal, tubuh memiliki mekanisme untuk melakukan pembekuan dan pengenceran darah. Pembekuan darah ini umumnya terjadi saat luka, untuk mencegah pendarahan terus-menerus. D-dimer dipakai untuk memeriksa apakah ada ada kelainan atau gangguan dalam mekanisme pembekuan darah.
2. Bagaimana pada Pasien COVID-19?
D-dimer ini memang banyak diperiksa pada pasien yang terinfeksi Virus Corona. Salah satu penyebab pembekuan darah adalah reaksi imunitas. Saat infeksi terjadi, Virus SARS-CoV-2 akan menyebabkan gangguan pembekuan darah atau koagulopati.
Kondisi ini bisa menyebabkan terjadinya penggumpalan darah atau thrombosis di vena atau pembuluh darah balik yang mengalir ke jantung. Selain itu, bisa menyumbat pembuluh darah dari jantung ke paru-paru, sehingga jika tersumbat bisa menyebabkan kematian.
"Parameter untuk memeriksa apakah ada gumpalan darah inilah D-dimer itu," kata dr Vito.
3. Minum air bisa atasi pengentalan darah?
Dalam penjelasannya, dr Vito juga meluruskan anggapan bahwa minum air putih bisa mencegah atau mengatasi kondisi fatal. Istilah 'darah mengental' menurutnya adalah oversimplifikasi dari kondisi osmolalitas darah yang meningkat sehingga terjadi hemokonsentrasi.
"Tapi darah mengental ini sebenarnya beda dengan darah menggumpal atau adanya bekuan darah pada Covid. Jadi harus hati hati dengan istilah istilah ini," jelasnya.
Meski mengkonsumsi air putih termasuk anjuran yang baik, tapi dipastikan tidak serta-merta bisa mengatasi kondisi tersebut.
4. Bagaimana mengatasi 'Pengentalan' Darah?
Untuk mengatasi kondisi tersebut, dibutuhkan pengencer darah yang memang khusus. Antikoagulan inilah yang akan berfungsi untuk melarutkan bekuan-bekuan darah yang berbahaya akibat peradangan infeksi SARS-CoV-2 atau pada pasien COVID-19.
"Yang jelas penggumpalan dan pembekuan darah pada Kasus COVID-19 memang dapat mengakibatkan venous thromboembolism dan pulmonary embolism yang fatal, dan obatnya jelas bukan dengan minum air yang banyak," tegas dr Vito.
5. Apa saja Faktor penyebabnya dari Pembekuan Darah?
Selain banyak terjadi pada Pasien COVID-19, gangguan pembekuan darah juga ditemukan pada berbagai kondisi lain. Faktor pemicunya antara lain :
•) Terlalu banyak Rebahan
Terlalu banyak tiduran atau rebahan ternyata bisa menyebabkan pembekuan darah semakin tinggi, bahkan meski tidak terinfeksi COVID-19.
•) Obesitas
Obesitas ini bisa menyebabkan peradangan kronik terjadi terus-menerus, sehingga meningkatkan Pembekuan Darah. dr Vito menjelaskan, sebenarnya orang yang mengalami obesitas itu sudah dalam keadaan Inflamasi Kronik yang disebabkan sel-sel lemak yang ada di dalam tubuhnya.
Untuk lebih jelasnya, silahkan Tonton Video YouTube di bawah ini dengan saksama.
APA ITU CORONASOMNIA? (SULIT TIDUR SELAMA PANDEMI CORONA)
Sumber Infografik : Republika.co.id |
Sumber Artikel : Kompas.com
Belakangan para ahli menyebut kondisi ini dengan sebutan Coronasomnia. Apa itu Coronasomnia?
Mengenal Coronasomnia
Melansir dari AMA, Ilene Rosen seorang dokter pengobatan tidur dan profesor kedokteran klinis di Perelman School Kedokteran di University of Pennsylvania mengatakan adanya kecemasan dan stress menyebabkan seseorang susah tidur.
“Coronasomnia' adalah istilah yang digunakan untuk masalah tidur yang berhubungan dengan Pandemi. Ini adalah dampak dari ketidakpastian dan rentetan informasi yang kita peroleh,” ujar dia.
Mengutip dari Washington Post kondisi Coronasomnia pada seseorang belakangan menciptakan semacam populasi baru utamanya pada para penderita insomnia kronis.
Masalah Coronasomnia ini kemudian berdampak pada Penurunan Produktivitas, peningkatan risiko hipertensi, depresi maupun masalah kesehatan lain.
Penyebab Coronasomnia
Menurut para ahli banyak alasan yang membuat sulit tidur selama pandemi Virus Corona penyebab COVID-19 ini.
Di antaranya pandemi telah meningkatkan stres dan mengganggu rutinitas. Kemudian kondisi keuangan tertekan, hari-hari kurangnya aktivitas dan interaksi sosial.
Selain juga munculnya beragam pemberitaan buruk seputar virus, masa depan yang tidak pasti, atau akhir krisis yang belum diketahui.
“Pasien yang dulunya insomnia, sulit tidur karena cemas, bisa lebih banyak mengalami masalah. Pasien juga bisa memiliki lebih banyak mimpi buruk,” kata Alon Avidan, ahli saraf Pusat Gangguan Tidur UCLA. “Dengan COVID-19, kami menyadari bahwa sekarang ada epidemi masalah tidur,” lanjut dia.
Sementara itu Charles M. Morin, Direktur Sleep Research Center di Universitas Laval Quebec memperingatkan bahwa insomnia bukanlah masalah yang sepele karena ia berdampak besar pada kualitas hidup.
"Kami mendengar banyak tentang pentingnya Olahraga dan Pola Makan yang baik, tetapi tidur adalah Pilar Ketiga dari Kesehatan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Lingkaran Setan
Melansir dari UC Davis, Coronasomnia ibarat sebuah lingkaran setan. “Semakin Anda tidak bisa tidur, semakin Anda khawatir tentang hal itu maka semakin banyak Anda tidak bisa tidur,” ujar Kimberly Hardin, Profesor Kesehatan UC Davis di Departemen Penyakit Dalam.
Dia menyampaikan lingkaran setan yang terjadi selama insomnia di antaranya sebagai berikut :
- Karena tak juga bisa tidur akhirnya beragam cara dicoba untuk mengatasi seperti tidur siang, akan tetapi ini sebenarnya dapat meningkatkan masalah tidur dan menyebabkan rutinitas terganggu
- Saat Lelah dengan COVID-19, ini mengakibatkan anda kurang tidur, karenanya setiap muncul gangguan baru besar atau kecil terkait COVID-19 akan menciptakan Kecemasan dan Frustasi yang makin menyebabkan lebih banyak lagi Gangguan Tidur
- Akibat Tidur yang buruk maka dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bisa menyebabkan masalah seperti refleks yang makin membuat orang akan terus terjaga
- Kurang Tidur pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan seperti depresi hingga tekanan darah tinggi. Padahal kondisi itu menyebaban seseorang rentan terhadap COVID-19. Saat mengetahui kondisinya maka semakin banyak kekhawatiran yang makin menyebabkan insomnia.
Mengatasi Coronasomnia
Angela Drake, profesor klinis Kesehatan UC Davis di Departemen Ilmu Psikiatri dan Perilaku mengingatkan jika seseorang tidak tidur sesekali, maka mereka tak perlu khawatir berlebihan.
Namun ia menyarankan apabila masalah tidur terjadi secara serius maka seseorang dapat menghubungi terapis tidur.
Selain itu, sejumlah hal yang dapat dilakukan untuk membantu mengatasi Coronasomnia di antaranya :
1. Pertahankan Rutinitas Harian yang normal
Jika seseorang selama Pandemi bekerja dari rumah maka sebisa mungkin baiknya mempertahankan jadwal rutinitas seperti saat ia bekerja.
2. Ciptakan dan Pertahankan Rutinitas Tidur
Sekitar Setengah Jam sebelum Jadwal Tidur cobalah untuk mematikan Lampu. Hal ini karena cahaya terang mencegah otak memproduksi Melatonin alami (Hormon yang menjadi bagian dari siklus tidur alami yang akan membantu seseorang tidur)
3. Hindari Layar di Kamar Tidur
Cahaya dari Ponsel, Tablet dan Komputer/Laptop memberi sinyal tubuh untuk terjaga dan tak melepas melatonin
4. Jangan gunakan Kamar Tidur sebagai Kantor
Hal ini penting karena untuk membantu otak memahami bahwa kamar adalah tempat beristirahat.
5. Berolahraga sepanjang Hari
Olah raga akan membantu mengurangi Stres dan menjaga Tubuh dalam Ritme Normal. Sebaiknya seseorang telah selesai berolahraga beberapa Jam sebelum waktu tidurnya, agar tubuh punya waktu menenangkan diri
6. Jangan Tidur Siang
Tidur Siang berpotensi mengganggu Siklus Tidur. Drake bahkan mengatakan lebih baik lelah selama sehari tapi kemudian bisa tidur nyenyak setelahnya
7. Dapatkan Sinar Matahari
Ini membantu menjaga ritme sikardian tubuh sehingga dapat menghasilkan melatonin di malam hari, bukan siang hari
8. Hindari makan malam terlambat
Jika akan tidur Jam 11 Malam maka cobalah tidak makan setelah Jam 7 Malam atau lebih. Hal ini untuk memberi waktu tubuh mencerna makanan. Saat Tidur sudah seharusnya semua metabolisme termasuk pencernaan beristirahat.
9. Jika terjaga di malam hari, bangunlah dari tempat tidur
Setelah bangun gantilah pandangan dengan meninggalkan kamar dengan menjaga lampu di mana Anda berpijak tetap redup.
10. Kurangi melihat Berita dan Media Sosial saat malam
Ini penting supaya otak tidak terus menerus membunyikan bel alarm akibat berita yang kurang baik.
11. Kurangi Alkohol dan Kafein
Hal ini karena kedua bahan tersebut mengganggu Pola Tidur dan berpotensi membantu tidur tidak nyenyak.
12. Hati-hati dengan Obat Tidur
Anda perlu berhai-hati dengan konsumsi Obat Tidur. Karena bisa membuat mengantuk hingga pagi hari dan berpotensi membuat ketergantungan.
Untuk lebih jelasnya, silahkan Tonton Video YouTube di bawah ini dengan saksama.
INILAH CARA KERJA DARI ALAT GENOSE (ALAT TERBARU UNTUK MENDETEKSI COVID-19)
Sumber Artikel : Pikiran Rakyat
Infografik : Suara.com
Universitas Gadjah Mada (UGM), secara resmi memperkenalkan temuan Teknologi Alat Deteksi COVID-19 yang Efektif dan efisien.
Dinamakan Gadjah Mada Nose C19 atau disingkat menjadi GeNose C19, merupakan alat Inovasi Universitas Gadjah Mada yang terbaru dalam screening COVID-19. Alat ini diklaim memiliki cara kerja yang ringkas dan cepat dalam mendeteksi COVID-19.
GeNose C19 bekerja dengan mengenali pola senyawa metabolit, yang terbentuk dari orang yang sudah terinfeksi COVID-19 hanya melalui sampel nafas. Alat Pendeteksi COVID-19 berbasis Embusan Napas GeNose C19 yang dikembangkan oleh Tim Riset Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapat Apresasi yang besar dari banyak pihak. GeNose C19 dirasa bisa membantu pemerintah dalam mendeteksi COVID-19 secara lebih masif dengan biaya yang relatif murah.
Setelah melewati berbagai Tes, Kementerian Kesehatan pun mengeluarkan Izin Edar untuk GeNose C19 pada Tanggal 24 Desember 2020 (9 Jumadil Awal 1442 H) dengan Nomor RI AKD 20401022882.
Beda dengan Alat Deteksi Tes sebelumnya yang sudah terkenal, semisal Rapid Test, PCR, dan Swab, GeNose C19 UGM memiliki cara kerja dalam Deteksi COVID-19 melalui Embusan Napas. Dikembangkan oleh para peneliti UGM, alat ini memiliki kemampuan mendeteksi Virus Corona baru dalam tubuh manusia dalam waktu cepat.
Dikutip dari Situs Resminya UGM, GeNose C19 hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 menit untuk mengetahui hasil tes apakah Positif atau Negatif COVID-19. Selain cepat melakukan Deteksi dan memiliki Akurasi Tinggi, Penggunaan Alat ini jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan Tes Usap / Swab Test PCR.
GeNose bekerja mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC), yang terbentuk karena adanya Infeksi COVID-19 dan keluar bersama udara melalui Embusan Nafas ke dalam kantong khusus.
Setelah itu, hembusan nafas diidentifikasi melalui sensor-sensor yang kemudian datanya akan diolah dengan bantuan Kecerdasan Buatan / Artificial Intelegience (AI). Dilaporkan bahwa GeNose C19 telah melalui Uji Profiling, dengan menggunakan 600 Sampel Data Valid di Rumah Sakit Bhayangkara. Serta data dari Rumah Sakit Lapangan Khusus Covid Bambanglipuro di Yogyakarta hasilnya menunjukkan Tingkat Akurasi Tinggi, yaitu 97%.
Peningkatan Kecepatan Jumlah Tracing/Pelacakan dengan harga yang terjangkau dan tindakan yang non-Invasif, merupakan alat pendukung ideal di era New Normal ini. Penggunaan alat GeNose C19 diharapkan dapat digunakan untuk mempercepat deteksi dini dari COVID-19.
BONUS
Inilah Foto-foto Perbandingan dari beberapa Tes COVID-19 di Indonesia (termasuk GeNose) :
ASAL MUASAL VIRUS CORONA DI WUHAN MENURUT WHO
Sumber Artikel : Kompas.com
Setahun sudah Pandemi COVID-19 yang muncul di China, mewabah di seluruh dunia. Setelah menyelesaikan misi penyelidikan Asal Mula Virus Corona, tim ahli dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya memberi penjelasan terkait hal ini.
Dilansir dari Reuters, Kamis (11/2/2021 | 29/6/1442), tim ahli yang ditunjuk oleh WHO telah menyelesaikan 28 Hari misi penyelidikan asal mula Virus Corona di China, dan telah memperoleh sejumlah petunjuk. Pakar penyakit hewan terkemuka WHO, Peter Ben Embarek mengatakan bahwa ada empat skenario utama tentang bagaimana virus SARS-CoV-2, Penyebab COVID-19 ini menyebar ke manusia.
1. Kontak langsung dengan Kelelawar
Dari hasil penyelidikan, Tim mengatakan Skenario Pertama asal muasal Virus Corona, yakni Satu Orang terpapar SARS-CoV-2 melalui kontak langsung dengan spesies inang.
Spesies Inang ini adalah kelelawar tapal kuda, yang mana virus bisa saja beredar pada Manusia untuk sementara waktu, sebelum mewabah di antara padatnya penduduk Wuhan.
2. Menular dari Spesies Perantara
Skenario Kedua Asal Mula Virus Corona yang dianggap paling mungkin terjadi, yakni melibatkan Penularan COVID-19 ke manusia melalui spesies perantara yang belum diketahui.
Liang Wannian, seorang ahli di Komisi Kesehatan Nasional China mengatakan trenggiling adalah kandidat potensial yang menjadi perantara Penularan Virus Corona. Bahkan, kemungkinan termasuk Cerpelai dan Kucing, mungkin juga bisa menjadi Reservoir.
3. Penularan lewat Makanan Beku
Kemungkinan Ketiga, COVID-19 bisa saja berasal dari skenario pertama dan kedua, yang kemudian ditularkan melalui Produk Makanan Beku.
Pakar China telah mengaitkan kelompok COVID-19 dengan makanan beku impor dan telah meningkatkan kemungkinan atas hal itu sebagai penyebab munculnya Wabah Virus Corona di Wuhan.
4. Kebocoran Virus dari Laboratorium
Isu kebocoran Virus SARS-CoV-2 dari Institut Virologi Wuhan, menjadi kemungkinan yang bisa saja terjadi. Sebab, diketahui bahwa institusi ini telah mempelajari Virus Corona di penangkaran.
Kendati demikian, Ben Embarek mengesampingkan kemungkinan itu dan mengatakan tidak akan menjadi subjek penelitian lebih lanjut. "Kecelakaan terjadi, tetapi sangat tidak mungkin dalam kasus ini," kata dia.
Dimulainya Wabah COVID-19
Lebih lanjut para Ahli mengungkapkan meskipun tidak mungkin ada Wabah skala besar di Wuhan atau tempat lain di China sebelum Desember 2019, namun mereka tidak menutup kemungkinan bahwa wabah itu menyebar di wilayah lain.
Sebuah persilangan, baik secara langsung dari kelelawar, atau dari Spesies Perantara, menunjukkan penularan Virus Corona di Wuhan bisa saja difasilitasi oleh jaringan perdaganngan Satwa Liar.
Marion Koopmans, anggota tim ahli WHO lainnya mengatakan satwa liar yang dijual di Pasar Makanan Laut (Seafood) Huanan dapat dilacak ke daerah yang memiliki habitat kelelawar, yang diketahui menjadi sumber virus yang terkait erat dengan SARS-CoV-2.
Salah satu wilayah yang disebut yakni provinsi Yunnan di China barat daya. Akan tetapi, Tim Ahli tersebut juga mempertimbangkan kemungkinan penularan manusia Pertama terjadi di seberang perbatasan di antara Laos atau Vietnam. Kendati pasar makanan laut Huanan di Wuhan dikaitkan dengan kelompok kasus pertama, namun persilangan awal dari hewan ke manusia justru tidak terjadi di sana.
Liang mengatakan masih ada cukup bukti untuk menentukan bagaimana virus memasuki Huanan, tetapi jelas Virus tersebut dapat saja beredar di tempat lain di Wuhan pada waktu yang sama. Skenario paling mungkin terjadi adalah seseorang membawa Virus Corona, SARS-CoV-2 ke pasar. Akan tetapi, Ben Embarek juga menyarankan bahwa itu bisa saja diperkenalkan melalui 'Produk', termasuk Hewan Liar Beku yang diketahui rentan terkontaminasi Virus.
Penelitian Lanjutan untuk memastikan
China telah menyatakan keprihatinan bahwa penyelidikan apa pun akan 'dipolitisasi' dan mengatakan pihaknya akan bekerja sama apabila memang disalahkan atas pandemi tersebut.
Ben Embarek mengatakan bahwa China saat ini perlu menemukan bukti yang mungkin dapat membuktikan bahwa Virus Corona telah beredar lebih awal dari Desember 2019. Sampel Bank Darah akan menjadi tempat yang tepat untuk memulai penyelidikan dalam menemukan bukti tersebut.
Kelompok kelelawar di dekat Wuhan telah dikesampingkan sebagai sumber wabah, namun masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menjelajahi Gua-gua di wilayah lain untuk melihat dan menemukan apakah ada kecocokan yang lebih dekat dengan SARS-CoV-2.
Lebih lanjut Ben Embarek mengatakan untuk mengungkap asal mula virus corona, hewan yang dijual di pasar Huanan, Wuhan, dan peran produk makanan dingin dalam penularan wabah ini juga perlu diteliti lebih lanjut.
JENIS-JENIS PENYAKIT YANG TIDAK BOLEH DIVAKSIN
Sumber Artikel : Merdeka.com
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) mengeluarkan surat revisi kriteria orang yang tidak layak mendapatkan vaksin CoronaVac atau vaksin Sinovac dari China itu.
Surat Edaran Tertanggal 9 Februari 2021 (27 Jumadil Akhir 1442 H) yang ditandatangani oleh Ketua PAPDI, dr. Sally Nasution itu merevisi surat kriteria calon penerima vaksin tertanggal 18 Desember 2020 (3 Jumadil Awal 1442 H).
Dalam surat yang sudah direvisi itu, ada 6 (Enam) Penyakit yang tidak layak mendapatkan Vaksin COVID-19. Keenam Kondisi/Penyakit itu, yakni :
1. Reaksi Alergi berupa anafilaksis dan reaksi alergi berat akibat vaksin Coronavac dosis pertama ataupun akibat dari komponen yang sama yang terkandung pada vaksin Coronavac.
2. Penyakit Autoimun Sistemik seperti Systemic Lupus Erythematosus, Sjogren Rheumatoid Arthritis, Vaskulitis. Khusus untuk Tiroid Autoimun, Penyakit Autoimun Hematologi dan Inflammatory Bawel Disease layak Vaksinasi selama remisi dan terkontrol. Konsultasikan dengan Dokter di bidang terkait.
3. Individu yang sedang mengalami Infeksi Akut, jika
infeksinya sudah teratasi maka dapat dilakukan Vaksinasi Coronavac. Pada Infeksi TBC, pengobatan OAT perlu minimal 2 minggu untuk layak vaksinasi.
4. Kanker Darah, kanker tumor padat, kelainan darah seperti talasemia, imunohematologi, hemofilia, gangguan koagulasi maka kelayakan dari individu dengan kondisi ini ditentukan oleh dokter ahli di bidang terkait. Konsulkan terlebih dahulu sebelum pemberian vaksin Coronavac.
5. Individu yang menggunakan Obat Imunosupresan, Sitostatika, dan Radioterapi.
6. Penyakit Kronik seperti PPOK dan Asma, Penyakit Jantung, Penyakit Metabolik, Hipertensi, Gangguan Ginjal yang sedang dalam kondisi Akut atau yang belum terkendali.
Jika kondisi Calon Penerima Vaksin di luar kriteria di atas, maka PAPDI menyatakan orang tersebut layak untuk diberikan Vaksin Coronavac.
Selain itu, dalam surat tersebut juga tertulis bahwa penyintas COVID-19 yang bisa menerima vaksin hanyalah yang sudah sembuh, minimal 3 Bulan sesudah dinyatakan sembuh dari Infeksi COVID-19.
Jika ingin melihat Perkembangan Update Terkini mengenai Kasus COVID-19 di Inzaghi's Blog, silahkan buka dan lihat di sini (COVID-19 Data Tracking Updates). Dan kalau ingin melihat semua Versi dari Update-an COVID-19, silahkan lihat di sini. Dan untuk membaca lagi tentang Klias Balik / Linimasa (Timeline) Setahun Pandemi COVID-19 di Blog ini, silahkan baca dan lihat di sini.
Tidak terasa, sekarang sudah hampir Setahun Pandemi COVID-19 melanda di Indonesia. Lekas Pulih Negeriku, Tanah Airku Indonesia!
Terima Kasih;
Wassalammu‘alaikum wr. wb.