Inilah Sejumlah Polemik dibalik Penerapan Pajak Sembako dan Pendidikan (Pajak Sekolah)
Assalammu‘alaikum Wr. Wb.
Halo guys! Belakangan kali ini sempat heboh dengan Berita/Isu-isu terkait dengan pemberlakuan Pajak untuk Sembako dan Sekolah sehingga menimbulkan Kontroversi dan juga menjadikannya sebagai Polemik.
POLEMIK SEKOLAH (PENDIDIKAN) DIKENAKAN PAJAK (PPN)
Sumber Artikel : Tirto.id
Pemerintah berencana mengenakan Pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan atau sekolah. Hal ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diajukan pemerintah dan akan dibahas dengan DPR.
Dalam aturan tersebut, Sektor Pendidikan dihapus dari daftar Jasa yang tak terkena PPN. Artinya, jasa pendidikan akan segera dikenakan PPN bila Revisi UU KUP disahkan. Padahal Jasa Pendidikan sebelumnya tidak dikenai PPN sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN [PDF].
Saat ini, jasa pendidikan yang bebas PPN di antaranya yaitu pendidikan sekolah seperti PAUD/TK, Sekolah Formal (Seperti SD, SMP, dan SMA/SMK), Perguruan Tinggi, dan Pendidikan Luar Sekolah.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai upaya pemerintah yang akan mengenakan PPN untuk sekolah sama saja mengarahkan pendidikan ke arah komersialisasi. Padahal pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga negara.
“Pemerintah kita kian kuat membelokkan arah pendidikan ke komersialisasi dan privatisasi. Ini bahaya karena negara mau melepas tanggung jawab pendidikan yang menjadi hak melekat pada warga negara,” kata Ubaid.
Sebab, bila RUU KUP yang diajukan pemerintah disahkan, maka bagi sekolah yang tergolong mahal bakal dibandrol PPN dengan tarif normal yakni 12%. Sedangkan sekolah negeri misalnya dikenakan Tarif 5%.
Sementara untuk rincian tarif PPN sekolah atau Jasa Pendidikan berdasarkan jenisnya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) bila beleid perubahan UU KUP itu disahkan Pemerintah bersama DPR.
Dampak Jasa Pendidikan Kena Pajak
Menurut Ubaid, kebijakan tersebut akan membuat biaya sekolah di Indonesia semakin naik. Dampaknya, biaya pendidikan akan semakin mahal, orang tua keberatan, lalu terjadilah putus sekolah. "Tanpa disadari, seakan kebijakan ini memberikan karpet merah pada si kaya, sementara orang miskin dilarang sekolah,” kata Ubaid.
Oleh karena itu, kata Ubaid, JPPI mendesak pemerintah untuk menghentikan privatisasi dan komersialisasi pendidikan, lebih-lebih setelah ada wacana PPN jasa pendidikan. Ia berharap pendidikan dikembalikan sebagai hak warga dan negara wajib menjaminnya.
“Bukan kewajiban warga untuk membayar sekolah. Tapi, negaralah yang harus memfasilitasi warganya untuk mendapatkan Layanan Pendidikan yang berkualitas," kata dia.
Anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah pun mengkritik rencana sekolah kena Pajak. Dia menilai pendidikan merupakan hak warga yang dijamin oleh negara. Apalagi menurutnya pemerintah diamanatkan untuk membiayai pendidikan warganya, seperti yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945.
“Ini tentu tidak etis sekaligus bertentangan dengan konstitusi. Jadi jika rencana tersebut diberlakukan dan UU disahkan akan rawan digugat di Mahkamah Konstitusi,” kata Himmatul melalui keterangan tertulis, Jumat (11/6/2021 | 30/10/1442).
Menurut dia, dampak dari Pengenaan Pajak akan membuat biaya pendidikan meningkat sehingga akan membebani masyarakat. Ini tentu akan menciptakan ketidakadilan karena pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat kecil.
Hal ini, kata dia, jelas bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aturan ini menyebut sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan. Lalu pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.
Selain itu, pengenaan Pajak pada sektor pendidikan di tengah Pandemi COVID-19 akan menambah tinggi angka putus sekolah. Politikus Partai Gerindra itu berkata, pandemi yang masih berlangsung telah menurunkan ketahanan ekonomi masyarakat sehingga banyak siswa dari berbagai daerah di Indonesia mengalami putus sekolah.
Pengenaan Pajak pendidikan, kata dia, bisa menambah tinggi angka putus sekolah sehingga menurunkan angka partisipasi pendidikan di Indonesia. “Kondisi demikian tentu paradoks dengan visi pemerintah sendiri, yakni mewujudkan SDM unggul untuk Indonesia maju,” kata dia.
Hal senada diungkapkan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda. Ia meminta sebaiknya jasa pendidikan tak masuk sektor yang jadi objek PPN. Meski saat pemerintah berusaha memperluas basis objek Pajak di tanah air sebagai upaya meningkatkan pendapatan negara.
“Kami memahami jika 85% pendapatan negara tergantung pada sektor Pajak. Kendati demikian pemerintah harusnya berhati-hati untuk memasukkan sektor pendidikan sebagai objek Pajak,” kata Huda melalui keterangan tertulis, Kamis (10/6/2021 | 29/10/1442).
Politikus PKB itu menilai kebijakan sektor pendidikan yang nantinya akan terkena PPN tidak tepat untuk jadi objek Pajak. Menurutnya sistem Universal Service Obligation (USO) akan lebih tepat digunakan untuk memeratakan akses pendidikan. Dengan sistem ini, sekolah-sekolah yang dipandang mapan akan membantu sekolah yang kurang mapan.
“Dengan demikian kalaupun ada potensi pendapatan negara yang didapatkan dari sektor pendidikan, maka outputnya juga untuk pendidikan. Istilahnya dari pendidikan untuk pendidikan juga,” kata dia.
Lebih lanjut, ia berharap, agar pemerintah melalui Kemenkeu (Menteri Keuangan RI) duduk bersama Komisi X DPR RI –yang salah satunya membidangi pendidikan--- untuk membahas persoalan tersebut agar usulan itu menjadi jelas.
“Agar tidak menjadi polemik dan kontra produktif, kita mengharapkan penjelasan pemerintah atas isu ini,” kata dia.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi membenarkan saat ini RUU KUP yang diusulkan oleh pemerintah sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Namun, politikus PPP ini mengaku belum mengetahui perkembangan RUU KUP ini. “Belum tahu, karena draf RUU-nya belum sampai ke DPR," kata Baidowi.
Respons Pemerintah
Kepala Biro Humas dan Kerja sama Kemendikbud-Ristek Hendarman saat dimintai keterangan oleh Reporter Tirto, justru melempar permasalahan ini pada Kemenkeu. “Ide dari Kementerian Keuangan. Silakan ditanyakan dahulu ya ke sana," kata Hendraman, Jumat (11/6/2021 | 30/10/1442).
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun buka suara. Ia mengatakan pemerintah memang sudah mengajukan RUU KUP ke DPR. Namun, sejauh ini DPR belum membacakannya di paripurna dan kemudian membahasnya.
RUU KUP yang diajukan memuat tentang arsitektur perpajakan dalam rangka penyehatan APBN ke depan. Sri Mulyani mengaku belum bisa menjelaskan detailnya selama belum ada pembahasannya di DPR.
“Kami dari sisi etika politik belum bisa memberikan penjelasan ke publik sebelum dibahas. Karena itu dokumen publik yang disampaikan ke DPR melalui surat presiden. Situasinya menjadi agak kikuk karena dokumennya keluar, karena memang sudah dikirimkan ke DPR juga,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (10/6/2021 | 29/10/1442).
Sri Mulyani menyayangkan pemberitaan yang sepotong-sepotong sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Ia berharap setelah dibacakan dan dibahas oleh DPR, pemerintah bisa memberikan penjelasan lebih utuh soal arsitektur perpajakan ke depan.
“Yang keluar sepotong-potong, kemudian di-blow up seolah-olah… menjadi sesuatu yang tidak bahkan mempertimbangkan situasi hari ini. Padahal fokus kami hari ini adalah Pemulihan Ekonomi,” kata Sri Mulyani.
POLEMIK SEMBAKO DIKENAKAN PAJAK (PPN)
Sumber Artikel : Kompas.com (Tanggapan), Pikiran Rakyat, dan Kompas.com (Daftar Sembako)
Tanggapan dari Guru Besar UGM terkait dengan Polemik PPN Sembako
Ketua Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Prof. Catur Sugiyanto menolak rencana pemerintah dan DPR memberlakukan Pajak terhadap barang Kebutuhan Pokok.
Sebab Pajak itu dinilai semakin memberatkan masyarakat yang saat ini sudah terkena dampak ekonomi akibat Pandemi COVID-19. "Sebaiknya sembako tidak diberi PPN sampai kapan pun, carilah sumber Pajak yang lain," ucap dia melansir laman UGM, Jumat (11/6/2021 | 30/10/1442).
Sebagai informasi, pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Rencana itu tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Bila sebelumnya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak atau sembako termasuk objek yang tidak dikenakan PPN.
Namun, pada draf revisi aturan baru tersebut sembako tak lagi dimasukan ke dalam objek yang PPN-nya dikecualikan.
Menurut Catur, di negara maju sebenarnya tidak pernah menerapkan aturan pemberlakukan Pajak pada bahan pokok karena dianggap itu menjadi kebutuhan dasar bagi orang untuk memenuhi sumber pangan. "Negara maju tidak memberlakukan seperti itu," jelas dia.
Dalam pandangannya, sangat tidak elok dan kurang pas jika pemerintah menerapkan aturan Pajak pada Sembako.
Selain menjadi kebutuhan dasar agar tetap bisa hidup meski dalam kondisi terbatas, pemberlakuan pajak pada situasi pandemi sungguh makin menyengsarakan rakyat miskin. "Kita itu hidup dari sembako jika dipajaki itu rasanya kurang pas," ungkap dia.
Selain menolak PPN sembako, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM ini juga meminta pemerintah untuk terbuka menyampaikan kondisi APBN sekarang ini hingga bisa muncul ide untuk menarik pajak pada barang sembako.
Dia mengaku, rencana kebijakan menarik pajak dari sembako mengindikasikan kondisi APBN sedang genting dan perlu diselamatkan. Namun, kondisi itu perlu disampaikan secara terbuka.
Meski pajak sebagai bentuk sumbangsih warga untuk negara, namun menurut dia menarik pajak dari sembako sangatlah tidak tepat. Pemerintah, sebut dia, perlu mencari alternatif sumber pendapatan lain dan melakukan penghematan secara besar-besaran serta memperkuat pengawasan.
"Governance, keterbukaan, pengawasan harus ditingkatkan agar tidak banyak uang negara yang dikorupsi," tukas dia.
Pajak Sembako-Pendidikan Kian Menuai Polemik, Dinilai Tak Manusiawi dan Abaikan 2 Poin Pancasila
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid (HNW) dengan tegas menolak wacana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap Sembako dan Sekolah (Jasa Pendidikan) yang tengah menjadi sorotan publik.
Wacana pengenaan PPN terhadap sembako dan sektor jasa pendidikan dimuat dalam draf revisi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang terakhir kali digubah dengan UU No. 16 Tahun 2009.
HNW mengatakan wacana kebijakan tersebut tidak hanya memberi Dampak Negatif terhadap Ekonomi rakyat menengah ke bawah, tetapi turut mencerminkan tidak terlaksananya sila kedua Pancasila.
Sila kedua Pancasila mengisyaratkan tentang Kemanusiaan yang Adil dan beradab, serta Sila Kelima Pancasila tentang Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
HNW menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai menyusahkan rakyat dan terlihat tidak berpihak masyarakat menengah ke bawah. Hal tersebut terlihat pada kebijakan tax amnesty dan pajak nol persen untuk PPnBM yang diberikan kepada konglomerat.
“Mereka, masyarakat menengah ke bawah mayoritas rakyat Indonesia yang terhubung dengan sekolah dan sembako justru dikenakan pertambahan pajak, sedangkan orang kaya atau konglomerat diberikan kebijakan tax amnesty juga pajak nol persen untuk PPnBM. Kebijakan seperti itu jelas sangat tidak adil dan tidak manusiawi, tidak sesuai dengan Pancasila pada sila kedua dan kelima,” katanya.
HNW menilai bahwa pemerintah seharusnya bukan hanya terpaku pada pemenuhan Pajak di masa Pandemi, tetapi melakukan inovasi agar dapat melakukan kewajibannya melindungi, memakmurkan, dan mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah seharusnya membantu rakyat lantaran Pandemi COVID-19 mengakibatkan daya beli dan daya bayar masyarakat menurun drastis. “Karena Pandemi COVID-19 mengakibatkan daya beli dan daya bayar Rakyat menurun drastis. Mestinya pemerintah membantu Rakyat, jangan malah membebani dengan pajak-pajak yang tidak adil itu,” katanya.
Oleh karena itu, HNW menolak tegas jika pengenaan PPN menyasar kepada Jasa Pendidikan Swasta baik Formal, non-Formal maupun Informal.
Menurutnya, seharusnya pemerintah berterimakasih dan bersyukur atas kegiatan yang dilakukan masyarakat secara individu maupun organisasi, termasuk Muhammadiyah, NU, dan yang lainnya yang berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang telah membantu pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya.
“Seharusnya pemerintah berterimakasih dan melindungi atau membantu pihak swasta yang menjadi penyelenggara jasa pendidikan karena telah membantu pemerintah memenuhi hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD NKRI 1945,” tuturnya.
Daftar Sembako yang Dikenakan PPN Berdasarkan Undang-undang (UU)
Pemerintah rencananya akan memasang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang kebutuhan pokok alias sembako.
Informasi mengenai dikenakannya PPN terhadap sembako diketahui berdasarkan bocoran draf perubahan kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Aturan tentang PPN sebelumnya telah diubah dalam UU Cipta Kerja, yang menggantikan sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 terkait PPN.
Dalam UU Cipta Kerja, diatur bahwa perubahan Pasal 4A UU Nomor 8 Tahun 1983 masih memasukkan "barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak" dikecualikan dari PPN. Namun, Pasal 44E draf perubahan kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 itu menghapus sembako dikecualikan dari pengenaan PPN.
Lalu apa saja daftar sembako yang akan dikenakan PPN?
Daftar "kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak" dipaparkan dalam Penjelasan UU Cipta Kerja. Dan berikut, inilah daftarnya :
- Beras
- Gabah
- Jagung
- Sagu
- Kedelai
- Garam (Baik yang ber-Yodium maupun yang tidak ber-Yodium)
- Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan caralain, dan atau direbus
- Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk Telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas
- Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan Gula atau bahan lainnya, dan atau dikemasa tau tidak dikemas
- Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan atau dikemas atau tidak dikemas.
- Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
Kalau menurut saya sendiri, SANGAT TIDAK SETUJU terhadap Pemberlakuan Pajak untuk Sembako dan Sekolah karena akan menyulitkan bagi para Pelajar dan Ibu Rumah Tangga. Apalagi dimasa sekarang yaitu saat Pandemi COVID-19 serba kesulitan dalam mencari Uang, dan apalagi kalau ditambah dengan Pajak.
Terima Kasih :)
Wassalammu‘alaikum Wr. Wb.